Sabtu, 19 Februari 2011

HARI YONG: SURABAYAKU SURABAYAMU JUGA



Hari Yong Condro, salah seorang fotografer senior keturunan Tionghoa di Surabaya, yang cukup banyak dikenal kalangan fotografer di kota ini. Dikenal sebagai seorang yang low profile, tidak pelit bagi-bagi ilmu dan karyanya.

Sore itu kami bertemu di CCCL Surabaya selain tempatnya yang nyaman, karena bangunan tua kolonial itu cukup sejuk dengan pepohanannya yang rimbun. Kami sepakat bangunan CCCL itu merupakan salah satu kekayaan sejarah Surabaya.

Saya tertarik mengenal beliau lebih mendalam setelah melihat karya-karya fotografinya yang Surabayais dan nasionalis.

Selain telah mendedikasikan hidupnya pada dunia fotografi selama 30 tahun (sejak 1980), ayah tiga putra ini memiliki obsesi-obsesi besar untuk Surabaya, kota yang dicintainya. Hampir seluruh karya pria kelahiran asli Surabaya 56 tahun lalu, yang pernah dipamerkan, menggambarkan wajah Surabaya dan aktivitas masyarakatnya.

Semuanya dirangkai dalam proyek “Surabayaku”, telah dise-lengarakan dua tahap, pertama bertajuk ‘Surabaya Obyektif’ di CCCL, kedua ‘Sosok Surabaya’ di House of Sampoerna, menampilkan foto tokoh atau warga Surabaya yang tergolong istimewa, memiliki prestasi khusus. Seperti Bubbi Chen yang musisi jazz terkenal, Hartoyik tokoh pejuang veteran, Lim Keng pelukis yang legendaris dan banyak lagi.

“Saya bangga dan ingin mengekspresikan sosok sebagai arek Surabaya dengan maksud agar ciri khas tersebut tidak tergerus oleh globalisasi,” katanya dengan penuh kebanggaan.

Lahir dan besar di Surabaya, tepatnya di kawasan Pecinan (Kapasan) Surabaya Utara, menghabiskan masa sekolah di Petra Surabaya, sebelum meneruskan ke ISI Yogjakarta jurusan Desain Interior. Namun mulai mengenal dan mencoba fotografi sejak SMA, menjadi pilihan kegiatan ekstrakurikuler, juga dengan membaca buku dan bertanya kepada orang di sekelilingnya terutama ke salah satu pamannya yang memiliki hobi yang sama. Dan juga pada saat di ISI, fotografi menjadi salah satu mata kuliah.

Pada saat itu perkembangan fotografi di Surabaya masih didominasi oleh studio foto, masih bersifat komersial belaka. Belum berkembang dari sisi seni gambar foto dan masih hitam putih. Pada masa tersebut banyak didominasi oleh orang-orang Tionghoa, pada marga tertentu mereka menekuni profesi ini, dan yang terkenal adalah Masariku (nama indonesianya). Konon, dia belajar fotografi dari Hong Kong, maka dia menjadi sokoguru fotografer di Surabaya. Seorang lagi adalah Yung Kwe, Hari banyak menimba ilmu darinya.

Selama karirnya sebagai fotografer, sukses menggelar beberapa pameran juga membentuk kelompok kerja fotografi asosiasi “Density” (1995) dengan beberapa rekan, mengadakan pameran di CCCL dengan tema yang individual, setiap fotografer mengeluarkan koleksi jepretannya, misalnya foto-foto bertema cahaya, ada yang bertema struktur dan sebagainya.

“Sebagai fotografer, saya merasa belum puas, karena telah mengalami tiga masa dari era hitam putih, berwarna dan kini digital, saya merasa belum mencapai inti atau puncaknya. Tapi dari segi materi saya merasa cukup meski tidak berlebihan,” ungkap fotografer senior yang menjadi panutan fotografer muda ini.Menonjolkan suatu peristiwa dalam pengabadiaannya dalam foto, baik obyek hidup ataupun mati, seperti bangunan-bangunan tua bernilai sejarah yang banyak terdapat di Surabaya. Melalui jepretannya, bangunan tua saksi sejarah yang diam dan bisu tersebut menjadi dapat bercerita.

TAMBAK UDANG & TAMBANG GARAM. (HARI YONG)

“Saya ingin menonjolkan suatu obyek tidak hanya yang bergerak tapi yang diam atau bisu dapat menjadi momen untuk diabadikan.”

Salah satu proyek untuk mengabadikan benda diam adalah bangunan bersejarah bekas penjara Kaliososok. Didorong rasa cintanya pada kota kelahiran dan tinggalnya, menggali kekayaan dan potensi yang tersimpan dari bangunan bersejarah dari segi budaya dan arsitekturnya.

Mulailah Hari Yong menelusuri dan melacak budaya dan arsitektur bangunan kota dimana di suatu masa telah dilalui. Dari hasil jepretannya dapatlah dilihat jika kota ini memiliki karakter yang menonjol, ada Belanda, Arab dan Tionghoa. Hingga masa kini karakter tersebut lebih majemuk.

Pada zaman kolonial dulu, Surabaya Utara adalah pusat perniagaan dan pemerintahan, maka bangunan didominasi budaya Belanda, Tionghoa dan Arab, namun saat ini Surabaya timur dan barat telah berkembang pesat mulai timbul bentuk bangunan dengan karakter yang modern dan lebih beragam. Adapun bangunan kuno dipertahankan dengan memberikan sedikit sentuhan modern.

Melihat Surabaya secara keseluruhan yang kaya dengan bangunan dengan berbagai macam gaya arsitektur yang unik, menunjukkan perjalanan suatu kota sudah sampai di mana.

Pada saat penjara Kalisosok dikosongkan, secara tidak sengaja Hari berkesempatan untuk dapat memotret penjara yang cukup terkenal itu dari dalam. Dengan waktu yang terbatas, dia dapat menangkap kesan mendalam dimana bangunan itu dibangun oleh manusia dalam rangka menciptakan suatu keadilan. Ruangan-ruangan tersebut tidak dipandang sebagai suatu yang mengerikan, tapi untuk mewujudkan suatu keadilan diperlukan suatu ruang. Hasil-hasil jepretannya ini merupakan koleksinya yang melengkapi proyek “Surabayaku” yang rencananya selesai 2012.

Menurut Hari, dunia fotografi akan terus berkembang, harapannya kepada para fotografer pemula dan professional agar dapat secara total menggali potensi kota Surabaya, yang merupakan sumber inspirasi tidak pernah habis.

“Saya mengharapkan pada para fotografer, agar dapat menggali total potensi kota Surabaya, yang menurut saya memiliki banyak obyek yang dapat menjadi sumber inspirasi yang tidak habis-habis,” ujarnya penuh semangat arek Suroboyo.

RUJAK CINGUR & KEDAI ICE CREAM ZANGRANDI. (HARI YOUNG)


sumber: www.epochtimes.co.id
[Amelia Wulan]